Pentingnya Mengenalkan Self Awareness dan Memberikan pengalaman Positif pada anak


Seminggu terakhir ini mami nggak bisa tidur nyenyak, pasalnya Hana terkena kasus bullying disekolahnya. Lebih tepatnya sama teman sekelasnya yang berbeda gender. Sedih-shock-kaget mendengar hal itu. Kok bisa?, sekelebat pikiran buruk terus bermain dalam imajinasi, dan karena hal itu juga yang membuat mami jadi susah tidur. 

Hana baru saja menjadi siswa Sekolah Dasar di salah satu sekolah swasta islam di kota Depok. Sekolah yang menitikberatkan terhadap ajaran agama islam di setiap pelajarannya. Mami memilih sekolah ini karena sesuai dengan visi dan misi mami juga papi. Sistem belajar di sekolah Hana ini memiliki metode active learning dan konstektual learning, Bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa inggris. Memiliki sederatan program yang memang khusus untuk meningkatkan kemampuan siswanya secara individu. seperti kegiatan unit activities yang wajib diikuti oleh seluruh siswa; kegiatan meronce, olah vocal, menari, clay dan sebagainya. Menurut sekolahnya Hana, setiap anak itu hebat dibidangnya masing – masing, jadi memang sekolah ini tidak terlalu fokus terhadap akademis tapi fokusnya kepada minat dan bakat siswanya. 

Nah, untuk kasus bullying sendiri, pernah mami tanyakan diawal sebelum masuk ke sekolah ini. bagaimana penanganan mereka bila ada anak yang terkena bullying. Karena yaa.. bullying terjadi hampir disetiap sekolahan, mau mahal ataupun murah. Karena perbedaan pola asuh dan latar belakang orangtua yang menjadikan anak – anak berprilaku kurang baik. 

Awalnya mami gak menyangka aja gitu, Hana kena bullying. Seperti mimpi saja, serius. 


Tiap kali jemput Hana selalu bertanya “are you happy?, are you felling fine?” takut kalau dia menjadi trauma. Sebab, yang membully Hana/melakukan tindak kekerasan itu teman lelakinya. Sosok lelaki yang selama ini selalu mami sounding ke Hana bahwa lelaki itu harus melindungi perempuan, lelaki yang baik itu tidak berucap kasar atau memukul. Tapi kenyataan yang ia dapatkan berbeda. 

Sedih.. 

Ternyata, teman lelakinya itu enggak hanya melakukan tindak kekerasan fisik terhadapnya saja, akan tetapi hampir seluruh teman – temannya dikelas tak luput dari pukulan-dorongannya bahkan perkataan kasar yang tidak seharusnya anak seusia Hana patut lontarkan. 

Sempat beradu argumen dengan orangtua anak lelaki itu melalui pesan wag. Tapi tidak sampai drama, hanya berbeda sudut pandang saja. Biasa Bahasa tulisan itu baku dan karena tidak bertatap muka ada aja salah pahamnya. 

Mami juga sudah konsultasi ke wali kelasnya Hana, solusinya seperti apa. Sekali – dua kali boleh lah gak apa dimaklumi. Tapi, bila keseringan, takutnya akan ada dampak psikologi. Kasus perundungan/bullying bila terjadi secara terus menerus itu pasti akan memberikan dampak tidak baik. Si anak akan menjadi trauma, apalagi di kasusnya Hana, yang melakukan bullying adalah teman lelakinya. Teman lelaki yang seharusnya melindungi perempuan bukan malah melakukan tindak kekerasan terhadapnya. 

Karena mami kepikiran terus, alhasil mami diskusi dengan walasnya Hana dan juga pihak sekolah. Ortunya si S (sebut saja demikian) pun ingin masalah ini segera selesai, tidak berlarut dan segera ada solusinya. 

Mami sesungguhnya bukan psikolog. Tapi berhubung dulu pernah belajar dan memang ada materi tentang kepribadian sewaktu kuliah jadi sedikit mengetahui soal teori - teori psikodinamik. Berbekal kasusnya Hana, mami Jadi bertanya - tanya apa yg menyebabkan si anak itu menjadi sangat agresif dan aktif. Apa hanya karena ia menonton channel youtube tanpa filter atau memang terlalu dimanja? 

Ketika pertemuan perdana mami dengan ortu anak itu didampingi oleh teacher dan juga psikolog anak pihak sekolah. banyak pembicaraan yg mengerucut dan menjadi alasan sikap anak tersebut jadi diluar batas anak seusianya. 

Untuk Latar belakang orangtunya; Sang Ibu bekerja, anaknya dirumah bersama bapak, kakek dan neneknya. Terkadang sang bapak menjemput kepulangan anaknya. Karena kepala keluarganya itu memiliki usaha dan buka toko jadi waktunya lebih flexible daripada sang istri. Dan istrinya hanya memiliki waktu bersama anak ketika pagi saat berangkat sekolah dan malam hari saja. Karena sehari – hari anak itu Bersama kakek – neneknya kemungkinan besar dimanja, melihat Hana Bersama kakek-neneknya kurang lebih sama kali ya. Dia juga suka nonton film superhero, salah satunya ultraman. 


Siapa yang tak mengenal sosok Ultraman?, seusia SD pun mami juga mengidolakan sosok itu, tapi tidak sampai bikin visualisasi secara real, terutama adegan berantem dengan penjahat. Karena mami sedari awal sudah di warning, bahwa itu hanya hiburan semata oleh orangtua mami dahulu. 

FYI, untuk masuk sekolahnya Hana ini butuh test psikologi dan di observasi. Kemarin mami sempat bertanya, pihak sekolah tahu bahwa si anak ini mempunyai catatan agak kurang baik, kenapa dibiarkan lolos begitu saja?, ternyata memang psikolog sekolah sudah mempertimbangkan segalanya. Termasuk pemukulan terhadap teman sekelas. Pihak sekolah positif kalau prilaku anak ini masih bisa diperbaiki. Asal keluarganya juga memotivasi dengan baik. 

Okey, inhale exhale. mengubah pola asuh anak itu gampang - gampang susah sebenarnya. apalagi ada intervesi dari kakek-nenek yg kadang (mohon maaf) tidak sejalan dengan pola asuh kita sebagai orangtuanya. Mami melihat anaknya juga kurang terbuka dengan ibunya. Di saat anak - anak lain seperti Hana selalu bercerita secara detail, anak ini hanya bercerita langsung ke inti. Dan perlu digaris bawahi juga. Ia masih bingung untuk mengungkapkan rasa marah-kesal-ketidaksukaan terhadap sesuatu-sedih dan seterusnya. 


Hasilnya, begitu tidak suka;pukul, begitu dirinya merasa terancam;pukul-dorong-berkata kasar dan tindakan ekstrim lainnya. Padahal, seharusnya anak - anak sedini mungkin dikenalkan dengan self awareness seperti: 
  • Identifikasi emosi, memberikan nama pada perasaan:sedih,senang marah, takut dll. 
  • Meraba rasa emosi, memberikan waktu dan ruang ketika anak meltdown dan merasakannya. 
  • Mengungkapkan emosi, biarkan anak belajar meredaksikan emosinya; senang, marah, sedih dan lainnya. 
  • Menyalurkan emosi dengan cara positif. Misalnya sharing cerita ke ibunya/teachernya bila sedih-marah-takut dll. 
  • Mengelola keinginan, sering kali anak meltdown/tantrum/emosi berlebih itu karena ia tidak dapat mengidentifikasi keinginan. Tidak tahu apa kebutuhannya dan keinginannya. 
  • Mengelola pemuasan diri, seperti teori kebutuhan Maslow; anak perlu belajar mengelola pemuasan diri dengan mengenali kapan harus menunda dan memenuhi pemuasan dirinya. 

Pengenalan self awareness yang terlambat bisa menyebabkan anak tidak mengenal emosi dirinya sendiri. Sehingga anak bingung bagaimana cara mengunggapkan sesuatu yg ada di dalam dirinya. Seharusnya, bila pengenalan tentang self awareness terhadap anak dilakukan sejak dini, mungkin akan terhindari dari perilaku yang kurang baik. 

Tapi....ada satu pe-er lagi untuk orangtua sebenarnya (termasuk mami). Kalau menurut teorinya Adler; lingkungan sosial mempunyai dampak psikologi yang sama besarnya dengan alam pemikiran internal. artinya peran lingkungan ini merupakan salah satu faktor besar dalam pembentukan pribadi anak. Dengan kata lain, bila kita sudah mengenalkan self awareness kepada anak kita akan tetapi lingkungan tidak mendukung (dalam hal ini peran kakek-nenek), maka si anak akan berprilaku sesuai dengan lingkungan yang ia lihat. 

Makanya dibutuhkan peran orangtua untuk mendampingi-mengingatkan anak bila ia berprilaku tidak baik. karena menurut Teori Sullivian ada 7(tujuh) tahapan perkembangan yang dapat mempengaruhi pembentukkan kepribadian manusia. salah satunya pada masa kanak - kanak (2 - 6 tahun), pada masa ini peran ibu masih sangat penting, akan tetapi peran ayah kian dibutuhkan dalam rentan usia ini, jadi kerjasama kedua belah pihak sangat dibutuhkan tidak berat sebelah. Tahap perkembangan selanjutnya yang krusial ada di usia 6 – 8,5 tahun; Masa ini ditandai dengan adanya kebutuhan akan kelompok teman bermain yang memiliki status sama. Namun, di akhir masa ini, anak akan menemukan satu teman yang sangat akrab dengannya. Sullivan meyakini bahwa anak sebaiknya belajar untuk bersaing, berkompromi, dan bekerjasama. Ketiga hal ini penting dilakukan karena akan membantu anak untuk belajar bermasyarakat dan menjalin hubungan interpersonal. 


** 
Kasus bullying di sekolah bisa terjadi sama siapa saja dan disekolah mana saja. Tidak terbatas di sekolah Negeri ataupun Elite. Semua kalangan bisa terkena kasus ini. Yang membuat berbeda adalah bagaimana pihak sekolah sebagai fasilitator mengatasi masalah seperti ini. Mungkin kalau di Sekolah Negeri tidak akan begitu memperhatikan anak didiknya satu – persatu. Secara satu kelas aja jumlah siswanya ada banyak, jadi nggak ke kontrol (mungkin). Seperti contoh kasus anaknya si mbak yang kerja dirumah mami. Anaknya kena bully juga; anak perempuan. Doi di palak dan dihujat oleh teman perempuannya. Tapi gurunya bertindak? Hanya sebatas warning selebihnya tidak. 

Beda hal dengan sekolahnya Hana yang notabene, sekolah Islam dengan siswa terbatas. Sekelas hanya 20 anak itu juga paling banyak jumlahnya. Di grade atas ada yang sekelas hanya 15 anak. Mami sangat bersyukur, mami enggak salah pilih sekolah. Awalnya begitu mami mendengar Hana kena bully udah mikir aja;

“Apa bedanya dengan sekolah lain?, percuma bayar mahal kalau cuma kena pukulan temannya saja?” “apa sebaiknya Hana pindah sekolah saja? Ke sekolah komunitas lagi/sekolah alam?” 

begitu banyak pikiran buruk berkeliaran di kepala mami. 

Alhamdulillah, pihak sekolah juga tidak tinggal diam. Ada perhatian khusus terhadap anak – anak yang “spesial” semacam ini dan melakukan tindakan preventif juga. Tapi balik lagi, bila pihak sekolah sudah mengusahakan yang terbaik dan melakukan semampunya mereka, kalau pihak orangtua yang memiliki anak ‘spesial’ tidak mengimbangi dengan mengubah pola asuhnya, mami rasa sih sama aja bohong. Tindakan yang paling akhir memang kita harus membekali diri kepada anak – anak kita bila terkena bullying, minimal Speak up. Ngomong sama teacher, tidak diam begitu saja. 


Dan, efek dari pemakaian gadget jangka Panjang tanpa diiringi kontrol dari orangtua sangat membahayakan tumbuh kembang anak, terutama di usia golden age. Se-usia Hana; 6-7 tahun. Dimana anak harusnya bisa eksplore lebih jauh tentang lingkungan sekitar, berkreasi serta imajinasi dan bermain Bersama teman sesusianya. Tapi anak itu hanya asik bermain dengan gadget dan memiliki dunianya sendiri. 

Sangat disayangkan memang, padahal ilmu parenting sudah tersebar dimana saja, bisa di baca di media manapun. Tak kecuali, beberapa sekolah juga memfasilitasi dengan pembekalan seminar Parenting untuk orangtua murid. Ya memang, mau bagaimana bagusnya materi – materi parenting yang berseliweran kalau orangtua gak aware ya percuma. 

Moms, jangan gadget/tas/alat rumah tangga saja yang di update tapi ilmu parenting kita juga harus diupdate dan yang lebih penting lagi. Moms juga harus melek literasi digital. Karena kita hidup dimana anak tumbuh dan berkembang di dunia yang hampir seluruh kegiatannya bersinggungan dengan dunia digital. Maka itu, didiklah anak – anakmu sesuai dengan jamannya. 


Berikan juga pengalaman yang positif sedini mungkin. Pengalaman yang membuat dirinya menjadi orang dewasa yang berprilaku baik dan mampu menghadapi dunia. Affirmasi positif yang kita berikan kepada anak setiap hari, akan terekam oleh alam bawah sadarnya dan secara langsung bisa mengubah kepribadian anak kita. 

Kiranya sharing pengalaman mami soal Hana yang dibully bisa menjadi pelajaran untuk hanamiers semua ya. semoga kelak tidak ada Hana – Hana yang lain diluar sana. Di sini mami gak bermaksud menggurui or something, hanya sharing dengan sedikit ilmu yang mami punya. Bila ada kesalahan dalam tulisan ini mohon maaf ya. Kalau kalian membutuhkan materi yang lebih lanjut mengenai parenting atau lainnya bisa menghubungi psikolog/ahli parenting yang terpercaya dibidangnya. 

Tanpa bermaksud men-judge orangtua anak lelaki itu, sesungguhnya menjadi orangtua adalah belajar seumur hidup. Trial and error. Mami juga pernah mengalami masa sulit menjadi seorang ibu, tapi kemudian diingatkan kembali pada hakekat fungsi dasar seorang ibu yang merupakan ujung tombak negeri ini. 

Mari kita berikhtiar bersama, menjadi ibu yang bahagia dan bisa membesarkan anak - anak dengan baik serta menjadikannya anak yang berakhlak mulia dan juga rajin beribadah.

2 comments

  1. TFS Mbak. Kebetulan anakku yang pertama juga pernah kena bullying gini, hanya kasusnya genk.. Sampai lebam-lebam tubuh anakku kala itu. Karena pihak sekolah tidak bisa memberikan solusi terbaik, mengingat pelakunya masih kerabat yayasan, akhirnya saya putuskan untuk memindahkan sekolah anak saya ke sekolah lain. :)

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan komentar kamu, tapi plis banget ya pergunakan bahasa indonesia yang baik dan membangun. Mohon maaf juga harus di moderasi biar gak ada yang spam. Happy Comment ^^~